Sistem Lama Masih Dipakai Akibat Coretax Tak Siap, Data Pajak Mesti Dipastikan Sinkron

Author:

JAKARTA – Pemerintah Indonesia memutuskan untuk memberlakukan dua sistem perpajakan secara bersamaan pada tahun 2025. Keputusan ini diambil sebagai respons atas ketidaksiapan sistem perpajakan baru, Coretax (Sistem Inti Administrasi Perpajakan). Meskipun langkah ini dianggap sebagai solusi sementara yang tepat, muncul kekhawatiran dari wajib pajak mengenai potensi masalah baru, terutama terkait sinkronisasi data pajak akibat penggunaan dua sistem sekaligus.

Keputusan untuk tidak sepenuhnya menerapkan Coretax pada tahun 2025 diambil setelah rapat dengar pendapat antara Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan dan Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Rapat yang digelar secara tertutup pada 10 Februari 2025 di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, memutuskan bahwa sistem lama, yaitu Sistem Informasi DJP (SIDJP), akan tetap digunakan untuk sementara waktu. Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi masalah teknis yang masih dialami oleh Coretax.

Dengan keputusan ini, beberapa urusan perpajakan akan tetap menggunakan sistem lama, sementara urusan tertentu sudah beralih ke Coretax. Langkah ini diharapkan dapat meringankan beban wajib pajak yang selama sebulan terakhir mengalami kesulitan dalam mengurus pembayaran dan pelaporan pajak.

Dampak Ketidaksiapan Coretax

Sejak diluncurkan pada 1 Januari 2025, Coretax telah menimbulkan berbagai masalah bagi wajib pajak. Raden Agus Suparman, Konsultan Pajak dari Botax Consulting Indonesia, mengungkapkan bahwa banyak wajib pajak yang mengalami kesulitan dalam mengurus administrasi pajak akibat sistem yang belum stabil. Staf administrasi pajak di berbagai perusahaan terpaksa bekerja lembur hingga dini hari untuk menyelesaikan tugas-tugas yang seharusnya dapat diselesaikan dengan mudah jika sistem berfungsi dengan baik.

Bahkan, ada kabar bahwa beberapa staf pajak dipecat karena dianggap tidak mampu menyelesaikan pekerjaan mereka. Padahal, masalah yang terjadi sebenarnya bukan disebabkan oleh ketidakmampuan staf, melainkan oleh ketidaksiapan sistem Coretax. “Ada guyonan bahwa staf pajak sekarang bekerja tiga shift. Meskipun mereka bekerja hingga dini hari, tidak ada jaminan pekerjaan mereka akan selesai karena aplikasi Coretax belum siap digunakan,” kata Raden saat dihubungi pada Selasa, 11 Februari 2025.

Sistem Ganda sebagai Solusi Sementara

Keputusan pemerintah untuk menggunakan dua sistem sekaligus diharapkan dapat mengurangi beban wajib pajak. Dengan sistem ganda ini, pengusaha kena pajak (PKP) dapat memilih untuk tetap menggunakan sistem lama, seperti e-Faktur Desktop untuk menerbitkan faktur Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atau aplikasi eBupot DJP Online untuk membuat bukti potong Pajak Penghasilan (PPh).

“Yang penting bagi wajib pajak adalah kemudahan dalam menjalankan kewajiban perpajakan. Tidak masalah apakah menggunakan Coretax atau DJP Online, asalkan mereka dapat melaksanakan tugasnya dengan lancar. Saya melihat sistem ganda ini sebagai solusi terbaik untuk saat ini,” ujar Raden.

Namun, Raden juga mengingatkan bahwa penggunaan dua sistem sekaligus berpotensi menimbulkan masalah baru, terutama terkait sinkronisasi data pajak. Jika wajib pajak menggunakan sistem lama untuk mengerjakan urusan pajak, data tersebut harus otomatis tersinkronisasi dengan sistem baru ketika diakses di kemudian hari. Jika tidak, hal ini dapat menyebabkan ketidakcocokan data yang berujung pada kesalahan pelaporan.

Tantangan Sinkronisasi Data

Salah satu tantangan terbesar dalam penggunaan dua sistem sekaligus adalah sinkronisasi data. Raden memberikan contoh kasus yang terjadi saat ini, di mana PKP yang masih menggunakan sistem lama e-Faktur Desktop untuk menerbitkan faktur PPN membutuhkan jeda waktu untuk penyesuaian data. “Update data di Coretax membutuhkan jeda dua hari, dan ada beberapa data yang membutuhkan penyesuaian. Misalnya, nomor pokok wajib pajak (NPWP) orang pribadi di Coretax sudah menggunakan NIK KTP 16 digit, sementara di sistem lama masih menggunakan NPWP 15 digit,” jelasnya.

Siddhi Widyaprathama, Ketua Komite Perpajakan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), juga menyoroti potensi masalah sinkronisasi data. Ia menuturkan bahwa kerugian utama yang dihadapi wajib pajak saat ini adalah stres dan keterlambatan dalam mengeluarkan faktur pajak untuk lawan transaksi. “Ini menjadi halangan untuk menagih pembayaran,” ujarnya.

Siddhi menambahkan bahwa meskipun penggunaan dua sistem secara paralel adalah langkah yang bijaksana untuk mengurangi hambatan yang ada, pemerintah perlu memastikan bahwa data wajib pajak yang menggunakan sistem lama dapat tersinkronisasi dengan baik di Coretax. “Jika tidak, wajib pajak mungkin harus mengerjakan ulang data mereka di Coretax, yang tentu akan menambah beban,” katanya.

Upaya Pemerintah Memperbaiki Coretax

Menyadari berbagai keluhan dari wajib pajak, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati berjanji untuk segera memperbaiki sistem Coretax. Dalam acara Mandiri Investment Forum (MIF) 2025 yang digelar di Jakarta pada Selasa, 11 Februari 2025, Sri Mulyani mengakui bahwa masih banyak keluhan terkait Coretax. Namun, ia menegaskan bahwa pemerintah berkomitmen untuk terus memperbaiki sistem tersebut.

“Saya tahu sebagian dari Anda yang hadir masih mengeluh tentang Coretax. Kami akan terus memperbaiki layanan itu. Membangun sistem yang kompleks seperti Coretax, dengan lebih dari 8 miliar transaksi, itu tidak mudah,” kata Sri Mulyani dalam sambutannya.

Ia menegaskan bahwa Coretax tetap dibutuhkan untuk mendorong digitalisasi sistem perpajakan di Indonesia. Sistem ini diharapkan dapat memudahkan baik pemerintah maupun wajib pajak dalam mengurus urusan perpajakan. “Kami bukan lagi mencari-cari alasan. Ini bukan excuse. Saya hanya ingin menjelaskan bahwa kami akan terus memperbaiki sistem tersebut,” ujarnya.

Harapan ke Depan

Meskipun penggunaan dua sistem sekaligus dianggap sebagai solusi sementara, banyak pihak berharap bahwa pemerintah dapat segera menyelesaikan masalah teknis yang ada di Coretax. Wajib pajak berharap bahwa sistem baru ini dapat sepenuhnya berfungsi dengan baik, sehingga mereka tidak perlu lagi bergantung pada sistem lama.

Selain itu, penting bagi pemerintah untuk memastikan bahwa sinkronisasi data antara sistem lama dan baru dapat berjalan dengan lancar. Hal ini akan menghindarkan wajib pajak dari masalah ketidakcocokan data yang dapat menyebabkan kesalahan dalam pelaporan dan pembayaran pajak.

Dalam jangka panjang, digitalisasi sistem perpajakan seperti Coretax diharapkan dapat meningkatkan efisiensi dan transparansi dalam administrasi perpajakan di Indonesia. Namun, untuk mencapai tujuan tersebut, pemerintah perlu memastikan bahwa sistem ini benar-benar siap dan dapat diandalkan sebelum sepenuhnya diterapkan.

Sementara itu, wajib pajak diharapkan dapat bersabar dan beradaptasi dengan perubahan yang terjadi. Dengan kerja sama antara pemerintah dan wajib pajak, diharapkan sistem perpajakan Indonesia dapat menjadi lebih baik dan mendukung pertumbuhan ekonomi negara.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *